Thursday 17 January 2013

rumput tetangga...

rumput tetangga memang selalu lebih hijau. yang kerja melihat betapa enaknya nggak perlu kerja dan semua kebutuhannya dipenuhi tanpa harus capek bekerja tunggang langgang. yang nggak kerja juga  melihat betapa enaknya mereka yang bekerja karena bisa menghasilkan uang sendiri, tidak tergantung pada orang lain.
sebetulnya dari dulu hidupku simpel-simpel aja. lahir dari keluarga pekerja keras. semua kakak2ku bekerja. tekun mengabdi di pekerjaannya masing-masing. nggak ada yang mengeluh atau banyak cingcong. semua kakakku, tiga2nya, nggak laki-laki perempuan semuanya tipe pekerja yang rajin, tekun, workaholic dan mendedikasinya hidupnya untuk pekerjaan, merintis dan menunjukkan integritas yang tinggi. mereka sekarang telah mencapai jabatan yang baik dan tetap dengan ketekunannya bekerja dan mengabdi pada negara. kakakku 3, yang 2 perempuan dan justru yang perempuan2 ini yang betul2 tangguh. menjadi breadwinner alias jadi pencari nafkah utama keluarga.
tapi lantas kenapa aku jadi begini? tadinya dalam benakku sejak kuliah yang terbayang hanya mengikuti jejak mereka. kakak2ku lulus kuliah, bekerja, menikah, punya anak dan tetap bekerja di kantor dengan tekun hingga pensiun, disela2nya disambi lanjut kuliah S2, disela2nya bekerja sebagai abdi negara juga  menjadi pengajar dan pembicara di lokakarya atau worskhop. keluargaku adalah tipe pekerja kantor milik negara, kebanyakan berkarir di bidang hukum, birokrasi, politik, sosial serta pengajar, dan sama sekali tidak berbakat dagang.
akupun semula begitu. lulus kuliah, aku bekerja, nikah, punya anak, sambil tetap bekerja, sambil lanjut dapat beasiswa S2, pindah ke beberapa tempat kerja, setelah bertahun2 bekerja di perusahaan swasta, akhirnya sekarang terdampar di lembaga pemerintahan. akhirnya senasib juga dengan kakak2ku. 
tapi yang berbeda adalah, aku merasa lelah dan jenuh. terlalu banyak pengaruh dari luar yang nggak penting tapi sangat berdampak padaku. dan semua ini mostly gara2 sejumlah contoh kenalan memanas-manasin bagaimana enaknya hidup nggak perlu kerja tinggal minta ke suami, siang bisa jalan2 dari mall ke mall sama ibu2 rumpi, arisan emak2 gaul, dengan enteng minta ganti mobil ke suami, aku lama2 jadi ikut kesel juga.
terhitung sudah hampir 14 tahun aku bekerja. sejujurnya aku bahagia banget bekerja. bahkan sejak kuliahpun aku sudah menyambi cari uang dengan mengajar dan jadi translator. aku menyukai pekerjaanku saat ini. dengan bekerja aku memberi nafkah untuk rumah tanggaku, menghidupi diriku dan anak2ku, menabung untuk pendidikan dan masa depan anak2ku, mempersiapkan dana untuk masa pensiun dan bahkan membantu anak asuh walaupun tak seberapa.
kebahagiaanku adalah ketika hasil pekerjaanku dihargai, keberhasilan project-ku dipuji oleh atasan, penyusunan kebijakan yang kubuat disetujui manajemen dan berhasil dilaksanakan dengan baik, bisa memecahkan masalah dengan sukses, mengatasi benturan kepentingan antar berbagai pihak dan semua hasil kerja yang baik dan tekun itu otomatis akan mengalirkan penghargaan baik finansial maupun non finansial dengan sendirinya.
tak pernah terbersit bahkan ternyata aku bisa juga traveling ke hampir semua pulau di negeri ini dan sejumlah negara di dunia, dan semuanya karena urusan kerjaan kantor. semuanya diongkosin kantor.
aku mengakui, bekerja membuatku merasa aman secara lahir batin. bekerja membuatku dihargai. bekerja membuatku mandiri. bekerja dan menghidupi rumah tangga membuatku punya posisi tawar terhadap suamiku yang suka beremosi tinggi. bekerja membuatku merasa aman bahwa rumah tangga dan anak2ku tetap terjamin hidupnya ketika beberapa kali suamiku sedang terpuruk dan bermasalah dengan pekerjaannya, bahkan sempat jobless dan punya banyak sekali kewajiban finansial yang harus dilunasi.
dengan pengalaman hidup berumah tangga hampir 14 tahun ini, dimana karir suamiku naik turun dan nggak jarang menyebabkan terguncang karena hobinya berpindah-pindah kerja dan sempat jobless, aku benar-benar trauma dan merasa bersyukur bahwasanya aku stabil bekerja sehingga operasional rumah tangga dan anak2 tetap terjamin, termasuk aku bisa melunasi kewajiban finansial suami yang sempat membuatku shock saking gedenya, dan itu nggak cuma sekali kejadiannya.
dan kini, alhamdulillah suamiku sudah berada di perusahaan yang baik. kelihatannya dia mantap untuk stay di sana. aku tak putus2nya mendorong dia untuk menetap dan menjadikan tempat kerjanya ini adalah tempat kerjanya yang terakhir hingga pensiun, mengingat usianya sudah 42 tahun.
di saat kondisi suami mulai stabil begini, kadang terbersit keinginanku untuk rehat dalam bekerja. aku lelah bekerja. toh aku juga selama ini nyambi menjadi dosen lepas, jadi aku bisa melanjutkannya. memang sih mengajar itu salah satu hobiku, walaupun kecil sekali honornya, tapi ada kepuasan batin tak terkira dari sharing pengetahuan itu. aku juga beberapa kali membantu rekan di bidang konsultan karena pengalaman kerjaku yang sudah cukup lama.
tapi tiap kali keinginan ini muncul, tiap kali pula ada saja semacam warning, entah memang mungkin Allah hendak mengingatkan aku untuk tidak berhenti bekerja. bagaimanapun bargaining power harus tetap terjaga, kedua aku harus tetap mandiri, dan yang ketiga yang paling penting bahwa roda pekerjaan dan hidup bisa sewaktu-waktu berbalik berdasarkan pengalaman2 masa lalu. jadi harus tetap berjaga-jaga.
suamiku adalah orang pertama yang tidak pernah setuju aku berhenti bekerja. ibuku adalah orang kedua yang tidak pernah setuju aku berhenti bekerja. dan anak2ku sendiri menjadi orang kesekian yang tidak setuju aku berhenti bekerja. aku pernah mengajak bicara fikri dan selma tentang pendapatnya kalo ibu nggak bekerja. mereka dengan spontan bilang ibu harus bekerja, ibu tidak boleh berhenti bekerja. jadi memang kelihatannya nggak ada alasan buatku untuk berhenti bekerja kalau sudah begini.
barangkali memang seumur hidupku aku harus tetap bekerja keras. tapi aku bersyukur semuanya menjadikanku menghargai hasil kerja dan menjadikanku belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu sekecil apapun memang harus dari hasil bekerja.

No comments:

Post a Comment