Langit-langit kacaku…pembatas gerak langkahku..benarkah begitu?
Pernahkah kita mendengar tentang istilah Glass Ceiling atau Langit-langit Kaca? Langit-langit kaca adalah batas semua yang menjadi penghalang berkembangnya potensi perempuan untuk berkarya. Kaca digunakan untuk menggambarkan konsep yang tidak tampak tapi berwujud, yaitu sebenarnya ada batasnya tapi tidak terlihat karena tidak secara nyata dinyatakan membatasi gerak perempuan untuk mencapai jenjang jarir yang lebih jauh.
Wujud glass ceiling yang kita temui dalam kehidupan nyata di negeri tercinta ini misalnya seorang perempuan yang sangat potensial dan smart yang telah menduduki jabatan tertentu menolak tawaran jabatan Vice President dari sebuah perusahaan pesaing karena merasa rikuh dengan suaminya yang hanya seorang Manager. Sebetulnya mungkin sang suami tidak merasa ada masalah apapun seandainya sang istri menerima tawaran tersebut, tetapi istri merasa perlu membatasi karirnya untuk menyeimbangkan posisinya di depan suami, keluarga dan masyarakat. Sang istri sendiri yang telah menciptakan glass ceiling bagi dirinya sendiri.
Satu lagi contoh, ada teman sekolahku yang begitu cerdas, kuliah di kedokteran, entah sudah puluhan beasiswa dia dapatkan sejak sekolah, lulus cum laude dan mendapatkan beasiswa ke luar negeri hingga S2, akhirnya memilih untuk tidak bekerja sama sekali. Kupikir alangkah baiknya jika kesempatan untuk kuliah di kedokteran tersebut yang notabene waktu itu mendapatkan subsidi dari anggaran pemerintah, berikut puluhan beasiswa yang diterimanya diberikan kepada orang cerdas tapi tidak mampu secara ekonomi yang memang sangat ingin mengabdi pada dunia kesehatan dan mengaplikasikan ilmunya untuk pengobatan masyarakat di pedalaman.
Istilah glass ceiling pertama kali digunakan mengacu pada hambatan tak tampak yang berimplikasi pada kemajuan karir perempuan di Amerika melalui artikel dari Carol Hymowitz dan Timothy Schellhardt di tahun 1986. Sebetulnya istilah ini telah muncul dalam artikel di tahun 1979 oleh Katerine Lawrence dan Marianne Schreiber untuk menggambarkan lingkungan yang tampaknya memiliki jalur yang jelas untuk promosi, tetapi kenyataannya perempuan itu sendiri yang membuat mereka menjadi kelihatan tidak mampu untuk maju.
Di negeri kita, memang secara kultural masih berpegang pada nilai budaya patriarki yang pada pada prakteknya menguntungkan kaum pria, yang berujung pada pembatasan ruang gerak atau glass ceiling yang menghalangi perempuan Indonesia dalam memasuki ruang publik.
Karin Klenke menggambarkan bahwa perjalanan seorang pemimpin perempuan senantiasa diiringi berbagai prasangka, kepercayaan, mitos dan kebiasaan yang beredar dalam masyarakat yang kian mempersulit perempuan dalam meraih posisi pemimpin.
Kita tentu sering mendengar pendapat tentang perempuan yang menduduki jabatan tinggi di perusahaan atau institusi yang diasumsikan pastilah tidak becus mengurus anak-anak dan keluarganya. Atau anak-anak yang bermasalah dengan pelajaran atau pergaulannya diasosiasikan dengan sang ibu, perempuan bekerja yang tidak becus mendidik anak karena kesibukan dan kekurangan waktu. Jarang sekali kita dapatkan pendapat masyarakat bahwa anak yang berantakan tersebut akibat ayahnya yang super sibuk.
Perjuangan pemimpin perempuan juga diibaratkan sebagai menembus langit-langit kaca (glass ceiling) yang kerap harus menembus rintangan yang tak tampak, sehingga perjuangan seorang perempuan untuk dapat menjadi pemimpin bisa dua kali lipat lebih berat ketimbang seorang pemimpin laki-laki.
Stigma langit-langit kaca di negeri kita tampaknya lebih menyulitkan lagi karena tidak hanya dibentuk dari persepsi masyarakat, agama dan budaya partriarki, tetapi justru dari dalam diri perempuan sendiri yang menciptakan langit-langit kaca bagi kemajuan dirinya.
Tidak usah jauh2, aku sendiri sering menyalahkan diri sendiri ketika ada yang tidak beres dengan rumah tangga dan anak-anak, misalnya nilai anak-anak turun, anak-anak sakit, rumah berantakan dll, bahwa semua itu karena salahku dan mungkin tidak terjadi kalau aku nggak bekerja penuh waktu seperti ini… seringkali aku juga harus menyembunyikan pencapaian2ku di tempat kerja, padahal mungkin saja suamiku nggak keberatan dengan semua itu…
Yah, mungkin saatnya kita berusaha mengurangi imajinasi langit-langit kaca ini (tepatnya buatku sendiri). Salah satunya adalah dengan menumbuhkan kepercayaan diri yang kuat, menghilangkan perasaan bersalah (ini yang paling sulit..) dan tentunya membuktinya kepada sekeliling kita bahwa kita sanggup kok mengelola seluruh aktivitas kita dengan sebaik2nya…
No comments:
Post a Comment