Tuesday 18 June 2013

smoga mereka tetap bisa belajar...

ditugaskan wawancarai calon penerima beasiswa dari salah satu yayasan yang kantorku ikutan jadi donatur sabtu lalu di kampus UI depok. cape banget sebetulnya soalnya seminggu penuh pulang malem terus. tapi capekku langsung ilang begitu mewawancara para mahasiswa yang membutuhkan bantuan finansial untuk studinya ini hiks.. pinter2 tapi berasal dari keluarga nggak mampu..

gimana nggak trenyuh, ada mahasiswa MIPA ternyata anaknya tukang bajaj di kemayoran. dia sambi nyari biaya dengan ngajar privat dan bimbel. aku tanya murid2nya di mana lokasinya. dia bilang sampe jaksel, jagakarta dll. lha trus apa balik modal honor 70rb buat ongkos? dia jawab dia minjem motor temennya, ganti2an pinjem ke beberapa temen. haduhhh.. sediihh..

trus ada anak sastra yang ayahnya tenaga honorer kelurahan bergaji 1 juta per bulan. ada juga yang ayahnya buruh udah di-phk dan udah tua, ibunya dagang di pasar. ada lagi yang bikin trenyuh, sejak kelas 2 smp terpaksa homeschooling yang paling murah sampe lulus esema karena gak sanggup bayar sekolah formal. lulus smp lewat kejar paket, lulus sma ikut UN, trus ikut ujian UI. di sela2 belajar sendiri gak sekolah formal itu dia bantu ibunya jualan apa aja..

ada juga yang asal desa terpencil di asahan, sejak smp sudah harus menempuh 9 jam perjalanan skolah, ikut paman, sambil kerja apa aja bantu pamannya. ada lagi anak dari kepulauan riau, keterima di kedokteran tapi mengundurkan diri karena nggak sanggup bayar, akhirnya ambil biologi aja sambil numpang di kerabatnya dan ngandalin beasiswa yang gak seberapa. padahal dia bilang sebetulnya kalo bisa jadi dokter dia bakal balik ke desanya, mengabdi di sana.. apa daya gak ada biayanya..

masih banyak lainnya. aku jadi inget dulu temen kuliahku yang hidup susah juga. kuliahnya gantian cuti tiap semester giliran sama adiknya karena ortunya petani kecil. trus sering mampir main ke rumah dan ikutan makan siang biar irit. kalo mau beli koran maka harus rela nggak sarapan.

aku juga inget jaman kecil pindah2 ikut ortu dinas ke semarang, pontianak, lampung dan makassar. jaman esde di pontianak, sekolah sebangku bertiga, esde inpres temen2ku susah semua hidupnya. banyak yang mandi di parit, tinggal di rumah2 panggung yang cuma terdiri 1 ruang buat tidur sampe masak. masih nempel banget ingetan itu di otakku..

dari wawancara tadi terlihat betapa senjangnya negeri ini.. di jakarta kaum borju menyekolahkan anaknya di sekolah internasional dengan SPP 5-10 per bulan, uang pangkal puluhan juta. sementara anak2 kuliah yang kuwawancara tadi dapet kiriman ortubya paling 800rb sebulan, dimana 350rbnya buat bayar kos. can u imagine gimana bisa bertahan hidup dengan sisanya, buat makan, buku, fotokopi, ngeprint dll..

yang salut mereka2 ini selain pinter, nyambi cari duit sendiri juga aktif berorganisasi di kampus, jadi panitia, ikut lomba essay, BEM dll..dan hebatnya lagi mereka semua ingin menciptakan lapangan kerja sendiri, ingin kembali ke daerah untuk membangun daerahnya, ingin jadi peneliti, ingin kerja di LSM untuk bantu orang susah dll..

memang beda ya, jamanku dulu untuk PTN masih ada subsidi, makanya kuliah murah banget. tapi sekarang mostly PTN udah jadi badan hukum yang harus bisa menghasilkan uang. jadilah anak2 cerdas yang nggak mampu secara finansial yang kesian. untuk jadi dokter misalnya, denger2 ratusan juta. dengan modal segitu rasanya hanya orang mampu yang bisa, trus yang mampu ini apa mau tuh mengabdi di pedalaman papua kalimantan sulawesi yang sangat membutuhkan tenaga medis.. nggak tau juga ya

kalo liat kondisi gini, bagusnya program orangtua asuh digencarkan lagi. di kampus UI setauku cukup banyak program beasiswa dari berbagai pedonor dan yayasan. ada beberapa yang kuwawancarai juga sudah mendapat beasiswa tapi jumlahnya masih sangat minim, misal cuma Rp200 ribu per bulan.

tapi memang pengelolaan sumbangan orangtua asuh di negeri ini masih belum terorganized dengan baik. contoh aja, aku ikut jadi ortu asuh pada program yang dikelola salah satu yayasan, trus program anak asuh yang dikelola masjid di lingkungan rumahku. sesuai dengan kemampuanku, untuk biaya esde esempe. tapi nggak pernah ada laporan tentang perkembangan atau penyalurannya, nama dan posisi anak asuhnya juga gak jelas, trus nggak ada reminder untuk rutin mengirimkan. jadi kadang2 terlewat dan sering bertanya2 juga sebetulnya programnya masih jalan atau tidak. jadinya ya udah sporadis aja nyumbangnya, seingetnya mengirim sambil berharap mudah2an tersalur dengan benar.

paling bagus sebetulnya langsung bantu 1 tahun di muka, supaya nggak terputus pendidikannya. trus nanti tahun berikutnya di-remind oleh pengelola untuk mengirim kembali. jangan lupa diberikan laporan singkat anak asuhnya siapa, dimana dst. ada juga sih beberapa yang sudah well organized, tapi rada jarang.

bagaimanapun belajar memang mahal.. aku kesel banget liat anak2 kaya malah males2an sekolah, padahal yang hidup susah setengah mati berupaya tetep bisa sekolah...






No comments:

Post a Comment