Nggak kusangka aku mengalami empty nest syndrome, padahal dulu merasa sangat tangguh nggak akan mungkin mengalami.
Ketika rumah terasa kosong karena anak2 udah lulus kuliah dan kerja dengan mandiri. Fikri saat ini penempatan dokter di pangkalpinang, selma lulus studi arsitektur lalu kerja di salah satu perusahaan bidang properti. Ditambah kondisiku di usia ini mulai pre-menopause dan mr hubby juga sensitif karena mau pensiun tahun depan.
Baru kusadari anak2lah yang menjadi perekat kita dan tempat mencurahkan segala kasih sayang dan perhatian. Padahal aku ini bukan ibu yang baik dan benar karena mostly meninggalkan mereka untuk bekerja, terutama di waktu kecil pendampingannya amat sangat pas2an.
Rasa bersalahku terutama dalam hal memastikan gizi terkait tinggi badan, karena jaman dulu sangat minim informasi mengenai cara meningkatkan tinggi badan. Termasuk ke dokter endokrin misalnya terkait tinggi badan. Aku dan mr hubby juga nggak tinggi sih, tapi masa iya sih mereka nggak bisa lebih tinggi dari kita, bahkan selma itu cuma 150cm padahal aku 158cm, lalu fikri 165cm sama kayak mr.hubby. Barangkali kalo aku jaman dulu terinformasi dengan perlunya asupan protein maksimal dan harus ke endokrinolog misalnya, mestinya bisa bagus. Terakhir kita bawa anak2 ke dokter tulang waktu mereka esempe, tapi dokternya juga gak bagus jadi ya tanpa solusi. Tapi yasudahlah yang penting sehat.
Alhamdulillah kalo dari kecerdasan mereka menurutku optimal, karena aku tuh suka tanyajawabin soal2 dan nemenin mereka belajar khususnya tiap mau ulangan atau ujian. Yah buktinya fikri jadi dokter dan selma arsitek.
Kembali ke empty nest syndrome, ini adalah sindrom dimana ortu merasa kehilangan, sarang alias rumahnya kosong karena anak2nya sudah pada mandiri dan pergi meninggalkan rumah untuk kehidupannya masing-masing. Yah kendati selma masih serumah, tapi rasanya juga kayak hilang karena dia udah kerja, pulang malam, ada kerjaan sampingan juga, trus weekend full aneka kegiatan termasuk pacaran jadinya jarang banget bisa ketemuan. Kalo fikri karena dokter penempatan di pulang Bangka, udah pasti berasa hilangnya.
Dan selama ini kita nggak pernah berantem ternyata karena ada anak sebagai perekat.. sekarang giliran udah lepas semua berasanya hal2 di antara kita biarpun sepele berasa jadi masalah banget hiks..
Dari artikel yang kubaca bahwa empty nest syndrome juga diperparah dengan terjadinya berbagai peristiwa lain dalam hidup seseorang, seperti pensiun, menopause dan kematian orang yang disayang. Ini yang berasa banget karena usiaku menjelang menopause, lalu menghadapi mr hubby yang super sensi karena udah mau pensiun, serta ditambah rasa kehilangan ibuku yang meninggal karena stroke akibat covid, walaupun sudah 3 tahun lalu. Aku juga merasa sepi karena di kantor, beberapa teman juga pensiun, lainnya jaraknya kemudaan jadinya canggung. Tambah lagi aku bukan orang yang biasa berpolitik kantor, cenderung lempeng2 aja.
Padahal klo dipikir2 aku juga kegiatannya nggak yang urusan kantor aja selama ini, tapi juga ngurus kos2an dan rumah sewa kendati dari jauh karena lokasinya di jogja, trus ada kegiatan menari jawa di 2 tempat tiap sabtu dan minggu siang, tapi tetep aja rasanya kayak ada yang hilang.
Sejak mereka kecil aku selalu mengorganisir traveling bareng berempat, dari piknik tipis2 pas lagi bokek sampe dengan traveling yang menguras biaya ke amrik tahun lalu. Dari traveling itu bisa kusimpulkan bahwa memori yang sangat membekas dengan keluarga kecil itu adalah traveling, karena kalo barang ya cepet ilang aja.. tapi traveling itu memorable banget, makanya biaya traveling menurutku sangat sepadan dengan memorinya.
Entah kapan bisa traveling berempat lagi karena kesibukan berempat ini, ya khususnya anak2. Yah walopun sejujurnya makin mereka gede, kita traveling itu makin banyak nggak akurnya karena masing2 punya keinginan dan susah diatur, beda jaman mereka masih kecil2 kan nurut aja kemana2..
Yah semoga bisa menghadapi empty nest syndrome ini dengan baik. Sehat2 terus dan tetap produktif ke depannya.
No comments:
Post a Comment