Tahun 2022 ternyata dibuka dengan berbagai hal yang menyedihkan. Dimulai dari mertua ngungsi ke rumahku hampir sebulan karena ipar di rumahnya ada yang kena covid. Stresfull karena kondisiku WFH dan aku gak bisa kerja karena berisik di rumah, sedangkan aku harus rapat2 maraton. Sampe akhirnya aku harus ngungsi ke coworking space karena kantorku masih lockdown, dan akhirnya ngungsi juga ke hotel, berkat konsinyering KPI yang berhasil kupaksakan.
Setelah itu mr.hubby juga kena covid dan aku lagi2 ngungsi ke hotel karena
di rumah semua kamar full, dan aku gak bisa tidur di kamar anak2 karena mereka
juga banyak tugas dan aneka vicon kampus sampe malam2, mereka juga gak nyaman
kalo ditongkrongin ibunya sekamar.
Dan yang paling menyedihkan buatku adalah ketika kondisi aku ngungsi di hotel gara2 mertua, lalu disitulah dikabari kalo fikri nggak lulus ujian osca. Itu betul2 membuatku terpukul teramat sangat. Skripsinya yang sudah selesai dan lulus ujian skripsi sejak awal Desember kemarin, lalu sudah lulus S1 secara resmi, tapi dia gak bisa lanjut koas karena gak lulus osca. Sialnya gak banyak kampus yang menerapkan osca sebagai syarat koas.
Nggak ada yang lebih menyedihkan ketika fikri nangis
padahal dia sudah belajar mati2an dan merasa bisa menjawab semua yang diujikan
di osca, dia bandingkan jawabannya dengan teman lainnya juga mereka lulus.
Justru banyak temannya malah main game dan ngasal jawabannya malah lulus.
Karena itu dia harus ngulang ujian osca bulan juli/agustus tahun ini, yang mana ini betul2 buang waktu padahal sudah gak ada apa2 lagi karena S1nya udah lulus
dan juni ini wisuda. Rasanya seumur hidupku belum pernah aku senelangsa ini.
Sejujurnya aku tuh sering gagal di urusan kantor, tapi bisa dibilang nggak
pernah gagal dalam pendidikan, selalu ranking dan lulusan berapa besar terbaik.
Ketidaklulusan anak dalam hal ini betul2 membuatku down dan menangis.
Tapi life must go on. Cukup berat ketika harus membangkitkan semangat anak
sekaligus membangkitkan semangat diri sendiri. Fikri sangat down, tapi aku
bersyukur mr.hubby full support. Bahkan ketika dia mau ikut preparation untuk
USMLE juga dijabanin, biarpun masih jauh banget dari kans lulus. USMLE ini
adalah semacam ujian untuk bisa lanjut jadi dokter di amrik. Mimpi banget tapi
nggak ada salahnya dicoba, toh prepnya kan belajar banyak ilmu gak sia2 biarpun
belum tentu lulus.
Di sela2 itu yang menghiburku cuma Selma yang ternyata menang juara 2
kompetisi arsitektur bersama 2 teman kuliah arsitekturnya. Anakku yang satu itu memang unik dan
seniman banget. Thanks ya Selma, penghiburan banget buat ibunya yang sangat
terpuruk.
Pada saat2 mertua ngungsi ke rumahku, fikri gak lulus dan banyak masalah
itu, ibuku terus turun kondisinya, membuat aku semakin terpuruk, mondar mandir
jogja dalam kondisi pandemi. Ibuku kena stroke dari tahun lalu sekitar juli-agustus
waktu covid lagi ganas2nya, itu juga karena terkena covid dan ibuku nggak mau
divaksin. Waktu itu sedemikian sedihnya lihat kondisi ibu, aku mondar mandir jogja
untuk nengokin. Stroke ini jenisnya penyumbatan bukan yang pecah pembuluh
darah. Lalu yang terkena dampak adalah badan bagian kanan nggak bisa
digerakkan, bengkak dan sakit banget, lalu bagian mulut sehingga nggak bisa
bicara dan mengunyah.
Ketika ibuku terbaring dan tidur terus di ICU aku bisikin agar ayo sembuh
bu, semua di rumah menunggu, aku ajak ngomong terus sampai akhirnya ibuku mulai
sadar. Sempat pulang ke rumah, terapi dan ada kemajuan, mulai bisa bicara
walaupun kurang jelas, sonde NGT mulai dilepas dan mau makan sendiri. Ibuku
memang hobinya makan, jadi sangat membantu untuk energi. Apapun yang dimaui
kita belikan. Waktu itu juga kita sudah pakai pramurukti jauh sejak sebelum
terkena stroke, tapi setelah stroke kita minta pramurukti yang lebih senior.
Di saat akhir2 tahun itu ibuku mulai menurun lagi, keluar masuk RS, lalu
suka cerita yang nggak2 misal diajak main alm bapak ibunya, lalu ketemu alm
bapakku, ketemu orang2 lama yang sudah meninggal, cerita terus tentang masa
kecil sama orangtuanya dll. Ibuku anak perempuan satu2nya dan sangat dimanja. Kakek
nenekku dulu di desanya disegani karena selain kakekku tokoh masyarakat juga
nenekku itu pedagang besar. Pokoknya aneka cerita2 jaman dulu yang nggak pernah
diceritakan sebelumnya ke kita2 lalu diceritakan lagi, dibantu penerjemah bu
Siti pramurukti.
Sebulan sekali aku pulang sejak juli itu dalam kondisi pandemi banget, tapi
akhir desember aku nggak pulang karena larangan pemerintah. Januari dst pulang
lagi karena kondisi makin menurun. Sampai akhirnya 24 maret itu aku pulang ke
jogja karena kakak2ku dan pramurukti nelponin untuk segera pulang karena ibu
masuk RS lagi. Malam itu aku ditemenin supir sewaan dan fikri berangkat ke jogja
habis magrib, sedangkan mr.hubby masih dinas di bali. Mr. hubby juga besok
paginya nyusul naik pesawat ke semarang dan nyambung kendaraan ke jogja.
Kondisi ibuku makin lemah, tapi masih bisa mengenali kami, melihat aku
mr.hubbby dan fikri. Aku dan kakak2 bergantian nungguin. Ibuku sudah nggak bisa
bicara karena aneka selang di hidung dan di mulutnya dipasang semacam selang
besar untuk menahan supaya nggak nutup. Aku cuma bisa menangis melihat ibu. Napasnya
sesak karena entah dahak atau apa tapi kelihatan sulit sekali bernapas. Dokter
menyampaikan bahwa kondisi di kamar perawatan sudah sedemikian rupa dilengkapi
alat2 maksimal namun bisa dipantau keluarga, sedangkan di ICU malah nggak bisa
ditungguin keluarga. Kemungkinan dari stroke entah serangan yang keberapa ini
merembet kemana2, antara lain gula naik akibat obat stroke, lalu karena baring
terus berbulan2 jadi ada luka besar di tulang ekor yang merembet infeksi, lalu
saluran kemih jadi infeksi juga, lalu paru-paru sehingga jadi sesak. Beberapa
kali disedot dahaknya dengan alat.
Aku pegang telapak tangannya bengkak gede banget, nggak bisa bicara tapi airmatanya
sesekali merembes. Kakakku bacain yasin dan gantian aku bacain yasin juga
sambil kupegang tangan ibu. Hari jumat malam dipasang semacam balon di mulut
untuk bantu oksigen, lalu dipasang alat entah apa untuk memacu tekanan darah,
serta sejak jumat dipasang alat monitor lengkap seperti di ICU untuk memonitor
detak jantung, tekanan darah, respirasi dll. Hari jumat sesak napas tapi sabtu
pagi udah membaik.
Hari sabtu sore, dokter bilang kondisi makin turun, aku juga melihat
tekanan di alat monitor makin turun. Menjelang sore kaki ibuku dingin sekali
seperti es waktu kupegang dan kakakku pegang. Lalu kita baluri minyak kayu
putih dan diselimuti dobel2. Menjelang sore dokter memutuskan harus dibawa ke
ICU, oleh karena itu untuk persiapan harus dilakukan antigen.
Kitapun berkemas2 karena di ICU tidak bisa ditunggu keluarga. Sejujurnya aku
rada optimis karena melihat ibuku sudah nggak sesak lagi, tapi juga takut kenapa
tekanan makin turun. Kelar kemas2 barang
dan dicicil dibawa turun, kita menunggu hasil antigen kok lama sekali. Seperti
disambar petir kita diinfo bahwa antigennya positif covid, lalu akan PCR. Ya
Allah.. aku langsung lemes. Ini berarti sesak napas dan disedot dahak kemarin2
jangan2 covid. Kami semua udah pasrah dan satu per satu turun untuk antigen.
Dari situ dibawa ke ICU dengan protokol covid, sedih banget rasanya. Aku melihat
ibuku didorong keluar dari ruangan tapi kenapa berapa alat bantunya
dilepas. Aku mendekat ke ranjang
dorongan dan kupandangi ibuku, nggak nyangka itulah yang terakhir T_T .. lalu kita ikuti terus dari jauh karena ibu
didorong masuk ambulans, mengingat lokasi ICU beda tempat dan protokol covid. Aku
betul2 nggak beranjak dari lorong , melihat ranjang didorong sampai pintu
ambulans ditutup dan ambulans berjalan pergi. Sedih banget rasanya.
Aku, mr hubby dan kakak2ku lalu berjalan keluar dan diminta untuk kembali
saja ke rumah mengingat di ICU tidak boleh ditunggu. Kitapun masuk mobil
masing2 dan jalan. Tidak sampai 5 menit jalan, tiba2 hp berbunyi dan kita
disuruh balik RS karena ibu kritis. Kakakku yang sulung segera kutelpon karena
dia pulang duluan gantian istirahat. Aku menangis di sepanjang jalan sampai
akhirnya kita tiba di depan IGD dan diinfo bahwa ibu sudah berpulang.
Innalillahi wainna ilaihi rojiun..
Kita semua menangis dan sempat mempertanyakan bagaimana protokolnya, kami
semua ingin memandikan ibu untuk terakhir kali. Meski pandemi sudah turun tapi
ternyata tetap harus sesuai protokol. Memandikan dan mengkafani dilakukan oleh
RS, lalu nanti ambulans akan tiba di depan rumah untuk disholatkan dan nanti
dimakamkan. Kebetulan mas yuri kakakku pejabat di pemda sehingga dimudahkan semua
prosesnya.
Dalam kondisi itu ternyata pelayat juga tetap banyak, karangan bunga
berdatangan nggak henti2 hampir seratusan karangan bunga. Mas suban kakak iparku memimpin
doa dan pemakaman diikuti para pelayat. Ibu dimakamkan di makam yang nggak
begitu jauh dari rumah kami.
Dan setelah itu kurasakan separuh hatiku seperti hilang. Betul2 hilang
karena karena ibu dan bapakku sudah tiada. Rasanya seperti dilucuti semuanya. Tanpa
bisa dbendung airmata mengalir berhari2.
Bapak meninggal di tahun 1998 di tanah suci ketika menjalankan ibadah
haji. Tapi kesedihan waktu itu entah kenapa beda banget dengan saat ini,
mungkin karena masih ada ibu. Lalu juga kepergian bapak rasanya lebih tenang
karena bapak meninggal dalam ibadah haji, beliau sudah haji ke 6 kalau tidak
salah karena orang jaman dulu memang mudah banget naik haji. Bapak seperti
sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk meninggalkan istri dan anak2nya
dengan baik.
Aku dan mr hubby kembali ke Jakarta. Aku sempat ke psikiater karena
berbagai pukulan, khususnya fikri yang nggak lulus osca lalu ibuku meninggal. Kata
dokternya kalau dalam 1-2 minggu ini belum membaik berarti perlu pengobatan,
tapi mudah2an membaik karena ini masih dalam masa berkabung. Aku dikasih obat tapi nggak kuminum karena
takut efek samping dan berusaha keras bisa bangkit sendiri.
Beberapa kejadian keluarga juga membuatku puyeng. Mas yuri kakakku yang cowo yang
super ambisius itu, sangat ingin jadi walikota pengganti dalam masa jeda pilkada.
Sedemikian ambisiusnya sehingga mau segera menyelesaikan rumah ibuku di sebelah
rumahnya sebelum diangkat jadi walikota. Menurut dia daripada rumah tua nanti
banyak biaya, baiknya dijadikan pendopo saja dan dimanfaatkan untuk keperluan
lain. Padahal kita semua masih dalam kondisi berkabung dan masih sangat terkenang dengan rumah ibu.
Aku dan kakak2 yang cewe betul2 nggak habis pikir dan ini membuat hubungan
jadi terganggu. Kita semua masih terkenang dengan ibu dan rumah ibu. Kalaupun akan
dibuat sesuatu tunggulah sampai setidaknya setahun kita semua mulai pelan2
melepas kenangan. Kakakku itupun pundung dan nggak mau lagi bahas rumah ibu. Alhasil
kita bertiga yang cewe2 yang take care rumah itu, walaupun mencar2 tinggalnya. Ya Alhamdulillah kita semua
perempuan2 tangguh, para pekerja sejati, jadi ya sudahlah kita handle bareng
biarpun aku nggak di jogja karena kerja di jakarta dan mbak ririn kemungkinan akan pindah kota juga karena tugas dia sebagai hakim. Yang penting
rumah ini dihandle dulu sambil kita pikirkan next bagaimana, mungkin tahun
depan.
Aku dan mbak ririn kakak di atasku persis sangat care dengan kondisi mbak
nana kakak sulung kita karena dia tulang punggung ekonomi keluarga, 2 tahun lagi
pensiun usia 60 sebagai pegawai negeri. Suaminya dulu kontraktor tapi lantas
menurun dan sering sakit, akhirnya lebih banyak mendekat ke kegiatan keagamaan.
Anak sulungnya baru mau penempatan sebagai PNS di babel, adiknya masih kuliah. Secara
ekonomi memang dari kita berempat, mbak nana ini yang perlu kita support. Kita perlu
jagain karena mbak nana ini yang paling terpukul karena dulu yang paling
merawat ibu secara fisik, trus sekarang mau ditinggal anaknya penempatan di
luar pulau.
Waktu berjalan. Anaknya mbak nana berangkat ke babel, mudah2an lancar dan
betah jadi pegawai negeri disana. Lalu ponakanku, anaknya mas yuri keterima di
btn syariah, akan segera mulai pendidikannya. Dia sementara nebeng di rumahku
di Jakarta sampai nanti mulai orientasi pindah2 dan penempatan di jawa tengah.
Oya di bulan februari kemarin Alhamdulillah akhirnya salah satu keinginanku
untuk mewakafkan tanah untuk pendidikan atau keagamaan bisa terwujud. Ini
adalah tanah hasil pembelianku sendiri yang dibeli sebetulnya karena paksaan
ibuku. Bisa dibilang karena aku ini paling jauh kerjanya, maka apapun ibuku
minta selalu kukasih karena feeling guilty gak bisa menemani beliau. Minta ini
itu semua kukasih. Beberapa tahun lalu ibuku memaksaku beli tanah di dalam
perkampungan, katanya bagus punya kenalanku dst dst. Akupun menurut karena
nggak ada salahnya buat simpan tanah dan akupun ambil pinjaman kepemilikan
tanah, waktu itu masih murah banget harganya. Ibuku yang mengurus semuanya,
sedangkan aku via bank tempatku bekerja terdahulu mengurusnya jarak jauh. Nah begitu
akad kredit aku ke jojga lihat lokasi, sejujurnya kaget banget karena ternyata
tanahnya terletak di belakang rumah orang walaupun jalan masuknya dibeli. Lokasi
yang enggak aku banget karena aku nggak terbiasa hidup bersosialisasi deket2
begini.
Tapi karena sudah dibeli ya sudah kita simpan saja, sempat beberapa kali
mau dijual tapi selalu ketahuan ibuku dan dimarahi. Lalu di sana juga banyak
makelar kampung dan bikin pusing. Sampai akhirnya aku nyerah dan keinginanku
untuk diwakafkan saja untuk ibadah. Aku kontak temenku dan diurus semuanya
melalui salah satu yayasan keagamaan dan proses wakafpun berjalan dengan lancar
Alhamdulillah. Rada kaget juga karena wakafnya malah dipublikasi segala oleh
yayasan. Rencananya akan dibuat PAUD islam. Insya Allah nanti pensiun mungkin
aku sering kesana untuk ikut2 ngajar misalnya.
Waktu terus berjalan.
Entah kenapa kuamati selama beberapa bulan ini berbagai kejadian optimistis
mendadak jadi buyar. Seperti Selma yang sudah di ujung optimis dapat beasiswa
sudah masuk final, ternyata nggak lanjut. Ponakan yang udah di ujung pacaran
mau kawin sama calon dokter gigi, ternyata putus. Lalu kakakku yang optimis
sudah di ujung akan jadi pengganti walikota sementara sampai pilkada, ternyata
gagal, padahal sudah berencana banyak.
Manusia memang berencana, tapi Allah yang menentukan. Bahkan yang sudah di
depan matapun bisa ambyar. Jadi tetaplah berusaha dan berdoa..
Aku sendiri bagaimana? Beberapa kali kesempatan pindah kerja ternyata belum
saatnya. Padahal usernya temen2ku yang pasti banget kita bisa kerjasama, tapi push
factor dari kantor belum memungkinkan. Aku juga yang kebanyakan pertimbangan
gak penting. Sekarang ini aku juga dalam proses dipertimbangkan pindah ke group
lain, tapi aku nggak bisa berharap banyak kendati sangat ingin. Aku betul2
lelah ngurusin pegawai, ngurusin bos2 dan paling berat itu menghadapi tuduhan
audit padahal kita nggak berbuat salah apapun. Kalau aku bisa pindah ke bidang
itu rasanya separuh beban lepas dan bisa napas setelah 3 tahun didera aneka
desakan, audit dan load kerjaan.
Tapi kusadari bahwa aku masih tersandera sampai fikri lulus ujian oscanya. Rasanya
nggak tenang ambil keputusan apapun sampai dia lulus osca dan mulai koasnya. Ya
Allah aku betul2 berharap fikri bisa lulus osca dan segera koas dengan lancar.
Sejujurnya sekarang ini aku jadi takut untuk optimis, takut ambyar malah kejadian kebalikannya. Yang pasti aku perlu memulihkan diri baik fisik maupun psikis atas berbagai hal yang telah kuhadapi..