Kondisi pandemi
seperti ini dan situasi kerja betul2 nggak kondusif. Apa2nya musti menunggu.
Rumah yang mau dijual untuk melunasi KPR rumah yang sekarang juga masih harus
nunggu, karena penjualan rumah lagi pandemi itu sulit. Pengen resign pensiun
dipercepat trus kerja di tempat lain juga masih harus menunggu, karena lagi
pandemi pastinya sulit cari kerjaan.
Menunggu
september sambil harap2 cemas karena pergantian pimpinan2 tertinggi, dimana big
boss masih terus berusaha entah gimana caranya agar bisa bertahan sedangkan
kita semua udah pengen banget dia selesai jabatannya. Lalu pimpinan eksekutif
yang super lelet dalam mengambil keputusan karena takut risiko, gada pengalaman
manajerial. Akibatnya semua proses bisnis terkendala, sedangkan target KPI
jalan terus. Belum lagi ada jabatan fungsional yang tampaknya sengaja
di-compete ke posisiku, bikin aku kesel banget karena orangnya demanding banget
dan sok tinggi.
Terus terang
aku udah putus asa. Bertahan di sini betul2 hanya menunggu kesempatan dari
tempat lain untuk pindah. Tapi semuanya serba gak jelas. Bukannya aku gak
bersyukur dengan semua yang telah diperoleh di sini. Tapi sejujurnya sejak
pertama bergabung sampai 10 tahun lebih ini aku merasa bahwa setiap tahun aku
selalu ingin resign, aku putus asa menghadapi segala tembok yang ada disini.
Ibarat disuruh lari mengejar target tapi kaki dan tangan dipegangi sehingga
kita gak bisa bergerak. Kendala aturan, birokrasi, tidakberanian mengambil
keputusan dari pimpinan sekaligus bersamaan dengan keberanian untuk melanggar aturan
dari pimpinan, arahan2 yang tidak jelas dan memaksa untuk memikirkan gimana
caranya arahan itu bisa jalan padahal kita tau ketentuannya sebetulnya tidak
bisa. Belum lagi politik karena kubu2an yang sedemikian bencinya antar kubu,
sedangkan aku dan temen2 yang bukan dari kubu siapa2 itu terkena imbasnya juga.
Susah untuk menggambarkan dalam bentuk kata-kata.
Aku merasa
bahwa selama 10 tahun lebih disini aku harus berjuang sendiri, sejak awal harus
mengupayakan apa2 sendiri karena ketentuan tidak bisa, atau tidak ada.
Menyedihkan. Yah walaupun akhirnya apa yang kuperjuangkan itu bisa terjadi, tapi itu
betul2 bikin nyesek karena di tempat lain nggak bakalan kayak gitu.
Sejujurnya aku
merindukan sosok pimpinan yang bisa melindungi. Tapi gak ada. Baru kali ini
seumur hidupku aku punya atasan yang bener2 nggak cocok denganku, jalan
pikirannya gak bisa kumengerti karena orang hukum memang rumit, lalu nggak
pernah memperjuangkan anak buahnya. Bahkan untuk aku bisa menjadi definitif aja
setengah mati aku berjuang sendiri lewat atasan orang lain, atasanku sama
sekali tidak membelaku. Yang ada hanya mengkritik dan menyalahkan terus, aku
dan anak2 buahku. Padahal ini adalah bidangku dan bukan bidang dia. Kadang aku
berpikir sebetulnya siapa yang lebih mengerti mengenai bidang ini, udah
kebalik2 semua hiks. Padahal selama 22 tahun aku bekerja di beberapa
perusahaan, aku selalu cocok dengan atasan2ku, bisa banget bekerjasama dan saling back up. Tapi
yang satu ini betul2 aku gak paham. Dan dia memang tidak cocok dengan semua
orang juga.
Karena itu
sebetulnya aku pengen banget cabut pas setelah 10 tahun kerja disini, bisa
pensiun dipercepat dan lanjut kerja di tempat lain. Tapi apa daya malah
pandemi. Lalu perubahan kewenangan institusi yang membuatku shock karena bakal
ada pimpinan2 independen yang bakal jadi rebutan dan menyusahkan, belum lagi
fungsional tandingan, belum lagi desakan dari pimpinan untuk egonya
meninggalkan legacy dengan membuat aneka yayasan gak jelas. Aku betul2 lelah...
Jangan2
berbagai kejadian di rumah yang baru kita tinggali setelah pindahan ini adalah
firasat dari perubahan2 yang tadi kutuliskan. Yang terbesar kemarin adalah kaca
atap carport pecah berhamburan padahal gak ada apa2. Ngeri banget menimpa mobil
kita. Untungnya gak ada orang di bawahnya. Tapi itu betul2 bikin shock karena
membahayakan. Perasaanku udah gak enak
banget. Dan ternyata minggu ini temenku setyo kasih info tentang perluasan
wewenang itu, dengan pimpinan independen yang jadi banyak, dengan usia yang
ngotot untuk dinaikin supaya pimpinan bisa tetep lanjut. Hadehh langsung
malesin banget.
Sejujurnya
penyesalanku terbesar adalah aku keluar dari bank tempatku bekerja selama 11
tahun. Tapi aku keluar juga setelah melihat dunia luar dari kuliah S2 bahwa
teman2ku bekerja di oil industry kelihatannya gak terlalu hectic. Padahal di
bank tempatku bekerja itu buatku merupakan tempat yang paling banyak aku bisa
belajar setelah lulus kuliah, mulai dari nol. Suasananya betul2 sangat
kondusif, pimpinan2nya mengayomi dan mendorong pengembangan, atasan, rekan dan
bawahan juga saling mendukung satu sama lain.
Di bank itu
pulalah aku ketemu jodohku, dapat pinjaman rumah, mobil, komputer dari
kantorku, melahirkan anak2 dengan biaya kantor, bahkan S2 juga dibiayai kantor.
Di situ pulalah aku belajar banyak dari atasan2ku yang bagus2 dan sangat
supportif serta memberikan arahan yang jelas. Kadang aku masih sering
sentimentil jika ingat bank tempat kerjaku dulu, begitu banyak kebaikan yang
telah diberikan. Walaupun sekarang tentunya beda banget karena sejak tahun 2008
merger dengan bank lain, yang pastinya kita nggak bisa kembali lagi kepada
kenangan indah itu. Anyway aku masih ber-banking dengan bank ini yang walaupun
sudah merger, dan aku akan selalu ber-banking dengannya.
Kembali ke
kondisiku kini, semoga ada titik terang mengenai tempat lain. Aku betul2 sudah
memutuskan untuk tidak berlanjut. Aku harus memulai hidupku di tempat kerja
yang lain yang lebih simpel dan tidak complicated seperti ini. Tapi harus
bersabar karena situasi pandemi ini. Semoga Allah memberi jalan dan kemudahan, dan
semoga semesta mendukung...